Laman

Kamis, 05 Mei 2011

Gaya Berpacaran Remaja Masa Kini

Menguak Gaya Pacaran Remaja



Jika mendengar cerita gaya pacaran para orang tua di era tempo doeloe, betapa sulit seorang pria menjumpai sang kekasih. Pasangan zaman dulu tidak diperkenankan saling berdekatan. Bahkan masa pacaran mereka, konon, tak terlalu lama. Kalau memang pasangan sudah serius, mereka harus langsung menikah. Itu dulu! Bagaimana dengan gaya pacaran remaja masa kini?

Matahari baru saja bergeser sekitar 60 derajat dari atas kepala. Siang itu, suasana di sepanjang Jalan Raya Tomang, Jakarta Barat terlihat lengang. Ketika kendaraan yang penulis tumpangi dihentikan oleh traffic light di perempatan Tomang, penulis sempat melihat sepasang remaja berlainan jenis berseragam sekolah sedang bercengkrama di trotoar, tak jauh dari rambu-rambu lalu lintas itu.
Yang membuat penulis terperanjat, mungkin juga pengemudi dan penumpang kendaraan lain kebetulan melihat pasangan itu, pria yang mengenakan seragam sekolah putih abu-abu itu tiba-tiba mendaratkan ciuman ke bibir gadis berseragam sekolah putih hitam. Dus, seolah tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarnya, gadis remaja itu pun membalas ciuman pria yang mungkin kekasihnya. Astaga, sungguh berani pasangan itu melakukan adegan ciuman mesra di hadapan publik.
Adegan yang dilakukan kedua remaja berlainan jenis itu mungkin belum seberapa. Belum lama ini, penulis menjumpai beberapa pasang remaja tengah bermesraan di sebuah taman di Jalan AUP Pasar Minggu, Jakarta Selatan ketika malam tiba. Suasana taman yang remang-remang karena kurangnya penerangan lampu jalan, tampaknya mendorong pasangan remaja itu mojok di taman itu. Adegan peluk cium, mungkin merupakan pemandangan biasa yang terjadi di tempat itu. Namun ternyata terlihat pula, seorang remaja pria - maaf - menggerayangi bagian sensitif pasangan wanitanya.
Pertanyaannya, kalau di area publik saja pasangan remaja itu berani melakukan kencan seperti itu, bagaimana jika mereka sedang berada di sebuah rumah yang sepi?
Dalam upaya mencari jawabannya, penulis melakukan obrolan santai dengan Santi dan Susan - sebut saja nama kedua remaja itu begitu - dalam waktu dan tempat yang berbeda. Santi yang ditemui di taman pusat perbelanjaan Blok M, Jakarta Selatan mengaku tak aneh melihat pasangan remaja melakukan hubungan intim. "Jaman sekarang udah nggak aneh kalau remaja melakukan ML (making love) dengan pasangannya. Kita nggak usah muna (munafik) deh," kata wanita berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMU kelas 2 ini.
Obrolan pembuka yang kami lakukan pada hari Minggu itu cukup lancar. Namun, ketika disinggung soal virginitasnya (keperawanan), Santi agak tergagap. Dia terlihat mulai salah tingkah. Dengan intonasi suara agak pelan, Santi mengatakan pernah melakukan hubungan intim dengan pacarnya yang seorang mahasiswa.
Remaja berlesung pipi itu menuturkan, kesediaannya melepas mahkota kesuciannya itu lantaran ia begitu mencintai pria itu. Sayang, tali percintaan mereka putus di tengah jalan. Meski Santi mengaku menyesali perpisahan dengan pria itu, namun dengan terpaksa ia menerima keputusan tersebut.
Yang terjadi selanjutnya, Santi mengaku tak lagi memilah-milah pria yang sempat singgah di hatinya. Selama Santi menyukai pria itu, ia mengaku sering tak kuasa menahan gairah kewanitaannya, hingga berlanjut ke hubungan intim. Tak terkecuali dengan kekasihnya sekarang ini yang juga seorang mahasiswa. Tapi, Minggu sore itu kok ia sendirian di taman itu, ya? Kira-kira apa yang dicarinya?
Memudarnya nilai keperawanan di kalangan wanita remaja sekarang ini tidak lepas dari faktor lingkungan dan pergaulan. Cerita Susan, mahasiswi sebuah universitas swasta di Jakarta Selatan cukup mengejutkan. Susan bertutur, waktu masih SMU, dia mempunyai geng yang berjumlah 6 cewek. Yang mengejutkan, 3 rekannya itu mengaku pernah melakukan hubungan intim dengan pasangannya.
Ternyata, Susan masih bisa bertahan sampai lulus SMU bukan karena termasuk komunitas yang masih menjunjung tinggi nilai sebuah kegadisan. "Waktu di SMU, saya memang tidak mempunyai pacar. Tapi pacaran kami hanya sebatas cinta monyet-lah, belum begitu mendalam," ujar wanita tinggi semampai berusia 20 tahun ini.
Setelah duduk di perguruan tinggi, keinginan Susan menjalin kasih dengan lawan jenisnya begitu menggebu-gebu. Kadang rasa iri menggelayut hatinya manakala melihat rekan satu kosnya sedang bermesraan dengan pasangan yang juga teman satu kampusnya.
Tatkala Susan menemukan pujaan hatinya, ia pun sering mengundang pria itu ke kamar kosnya. Sebagai remaja yang sedang dibakar api asmara, Susan menumpahkan kasih sayangnya kepada sang pria itu hingga akhirnya keperawanannya pun telah direnggut kekasihnya itu. Namun Susan mengaku tak menyesal. Wanita berwajah oval ini mungkin boleh dibilang masih beruntung, sebab sampai sekarang hubungan mereka masih langgeng. "Kami ingin hubungan ini berlanjut ke pernikahan," harap Susan.
Fenomena seks pra-nikah seperti "gunung es" yang tampak 'aman' di permukaan, padahal sudah 'mewabah' hingga ke 'dasar laut'. Seperti dilansir Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dab Humaniora (LSCK Pusbih) Yogyakarta, seks pra-nikah terjadi karena didukung situasi saling membutuhkan.
Hasil survey terhadap lebih dari 1.600 mahasiswi dari 16 perguruan tinggi di Yogyakarta, empat tahun silam menunjukkan angka fantastis. Sekitar 97,05% mahasiswi mengaku sudah hilang keperawanan mereka saat masih kuliah. Menurut Direktur Eksekutif LSCK Pusbih, Iip Wijayanto ketika itu, sekitar 73% pasangan menggunakan metode coitus interuptus saat berhubungan intim. Selebihnya menggunakan alat kontrasepsi yang dijual bebas di pasaran. "Kegiatan seks semuanya dilakukan atas dasar suka sama suka," terang Iip dengan menyebutkan bahwa hasil penelitian lembaganya menunjukkan kalau keperawanan bukanlah sesuatu yang sangat penting lagi saat ini.
Setahun sebelumnya, seorang siswi SMU Labschool Jakarta juga pernah melakukan penelitian terhadap 24 siswi dan 12 siswa di beberapa SMU di Jakarta. Hasilnya, beberapa responden mengaku pernah melakukan hubungan seksual dengan pacar mereka. Anehnya, di antara mereka ada yang mengaku tidak mencintai pasangannya. Mereka melakukan hubungan seks semata karena mengikuti naluri.
Perasaan cemas pada menerpa para wanita yang yang pernah melakukan hubungan seks selama pacaran. Apalagi ada pameo, banyak pria menolak beristri wanita yang sudah tidak perawan lagi. Sementara para wanita sendiri sepertinya kesulitan untuk mendeteksi apakah calon suaminya itu masih perjaka atau tidak. Di sinilah kaum wanita merasakan adanya ketidakadilan dari kaum pria.
Sebaliknya, bagaimana kalau kedua pasangan itu tidak mempersoalkan masalah keperawanan?
Kepala Divisi Informasi, Edukasi, Advokasi Program Kesehatan Reproduksi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yahya Ma'sum mengatakan, anggapan bahwa hubungan seks pra-nikah merupakan wujud atau pertanda cinta, merupakan suatu kesalahan. Karena, hubungan pra-nikah bukan semata untuk tujuan kebaikan tapi malah merusak hingga berpotensi menimbulkan masalah.
"Kalau kita cinta dan sayang pada pasangan kita, maka harus kita pelihara mahkota kesuciannya. Kalau kita bilang cinta tapi merusak, itu kan kontradiktif," kata Yahya Ma'sum. "Bagaimana kalau dia hamil, sementara remaja itu masih sekolah. Nanti dia tidak boleh melanjutkan sekolah. Kemudian dia juga malu kepada keluarga dan lingkungan di sekitarnya," papar Yahya pula.dikutip dari tulisan syaifudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar